STUDI DASAR KAPITALISME
STUDI
DASAR KAPITALISME
A.
Gagasan Dasar Kapitalisme
Membincarakan
dasar teori ekonomi kapitalisme, sosok Adam Smith dengan buku termasyhurnya, The
Wealth of Nations, dapat di sebut sebagai Bapak Kapitalisme. Dalam
membahas teori dasar kapitalisme adalah dengan mengetahui ciri dasar sistem
tersebut, yaitu pemaksimalan keuntungan individu melalui kegiatan-kegiatan
ekonomi yang dimaksudkan membantu kepentingan publik.
Makna kapitalisme untuk kepentingan publik tersebut, oleh
Adam Smith diilustrasikan dengan sangat jelas: “Apa yang kita harapkan untuk
makan malam kita tidaklah datang dari keajaiban dari si tukang daging, si
pemasak bir atau si tukang roti, melainkan dari apa yang mereka hormati dan
kejar sebagai kepentingan pribadi. Malah seseorang umumnya tidak berkeinginan
untuk memajukan kepentingan publik dan ia
juga tidak tahu sejauh mana ia memiliki andil untuk memajukannya. Yang ia
hormati dan ia kejar adalah keuntungan bagi dirinya sendiri. Di sini ia
dituntun oleh tangan-tangan yang tak terlihat (the invisible hands) untuk
mengejar yang bukan bagian dari kehendak sendiri. Bahwa itu juga bukan
merupakan bagian dari masyarakat, itu tidak lantas berarti suatu yang lebih
buruk dari masyarakat. Dengan mengejar kepentingan sendiri, ia kerap kali
memajukan kepentingan masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan jika ia
sungguh-sungguh bermaksud memajukannya. Saya tidak pernah menemukan kebaikan
yang dilakukan mereka yang sok berdagang demi kepentingan publik”.[1]
Penjelasan ilustratif tersebut sebenarnya tidak bermaksud
lain kecuali kehendak untuk memaknai kapitalisme dengan memadukan kepentingan
individu di satu pihak dan kepentingan publik di pihak yang lain. Dari premis
itu ialah bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang lebih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi secara individu. Meskipun
demikian, orientasi individu tetap merupakan tahapan awal bagi kepentingan
publik atau sosial. Motif sosial yang tersembunyi (hidden social motive) yang
disebut Smith sebagai the invisible hands.
Kehendak untuk memadukan kepentingan privat dan publik
ini selanjutnya dijelaskan bahwa setiap manusia, dengan demikian, dipimpin
langsung oleh kepentingan dan tindak tanduk ekonominya. Manusia yang
bersangkutanlah yang mengetahui apa kepentingan mereka sesungguhnya. Oleh sebab
itu, dialah yang dapat memenuhi kepentingan dengan sebaik-baiknya. Hal ini
bukan dimaksudkan untuk mengesampingkan kepentingan bersama, tetapi mereka
berfikir bahwa kepentingan bersama ini akan dapat diperhatikan dengan
sebaik-baiknya pula apabila setiap individu mendapat kesempatan untuk memenuhi,
memuaskan, dan mengekspresikan kepentingannya masing-masing tanpa restriksi.
Setelah
ia menulis The Wealth of Nations, Smith sudah mengemukakan dalam Theory
of Moral Sentiments sebagai dasar filsafat teori ekonominya. Ia
menentang dengan tegas pendapat de Mandeville bahwa privet vice makes public
benevit. De Mandeville memandang bahwa kemewahan atau pengejaran
keuntungan ekonomi itu dosa, meski dosa itu sendiri diperlukan untuk
kesejahteraan masyarakat. Smith justru melihat sebaliknya, dengan meniru
gurunya Francis Hutcheson, ia mengatakan bahwa kebajikan adalah pengendali
nafsu dan bukan sebuah antipati yang mutlak. Dalam The Wealth of Nations sendiri,
Smith pernah mengatakan bahwa: “The nature and causes of the wealth of
nations is what is properly called political economy”. Ini menunjukkan
bahwa nama bukunya saja sudah cukup untuk menjelaskan apa sesungguhnya yang
menjadi tujuan dari aktifitas ekonomi.[2]
Mempelajari paradigma dan ide dasar kapitalisme juga bisa
dilakukan dengan membuat interpretasi-interpretasi karya Smith seperti yang
banyak dilakukan. Kita memahami bahwa masterpiece Smith tersebut
sesungguhnya hanya meletakkan gagasan-gagasan cemerlangnya secara umum saja.
Sjahrir (1995) menerjemahkan The Wealth of Nations yang membidani
lahirnya teori kapitalisme itu dengan membuat rincian sederhana seperti, apa
yang harus diproduksi dan dialokasikan, bagaimana cara memproduksi dan
mengalokasikan sumber daya, serta bagaimana cara mendistribusikan sumber daya
dan hasil produksi.[3]
Pemahaman lain tentang ide dasar kapitalisme juga
diberikan oleh Max Weber[4].
Ia mendefinisikan kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi berdasarkan
kerja berupah untuk dijual dan diperdagangkan guna mencari keuntungan. Ciri produksi
berdasarkan upah buruh itu merupakan karakter mendasar bagi kapitalisme. Bagi
Weber, ciri kapitalisme yang lebih mendasar lagi adalah pada sistem pertukaran
di pasar. Sistem di pasar ini menimbulkan konsekuensi logis berupa
rasionalisasi yang mengacu pada bagaimana cara meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya. Dengan kata lain, bagaimana melakukan akumulasi kapital
secara terus menerus. Akumulasi kapital itu dimaksudkan untuk melakukan
produksi barang atau jasa yang lebih menguntungkan (more profitable). Keuntungan
inilah yang secara dominan bagi rasionalitas tekhnologi.
Sedangkan bagi Marx, kapitalisme tidak didefinisikan oleh
motif atau orientasi kaum kapitalis. Apapun motif yang mereka sadari, mereka
sebenarnya didorong oleh logika sistem ekonomi untuk memupuk modal. Kapitalisme
bagi Marx suatu bentuk masyarakat kelas yang distrukturasikan dengan cara
khusus di mana manusia diorganisasikan untuk produksi kebutuhan hidup.[5]
Sejalan dengan zaman, kapitalisme terus berkembang,
bergerak dan beradaptasi dengan sejarah. Jorge Larrain mengemukakan,
“Kapitalisme dicirikan oleh dominasi obyek atas subyek, modal atas pekerja,
kondisi produksi atas produsen, buruh mati atas buruh hidup. Bahkan menurut
Marx, kapitalisme adalah hasil dari praktek reproduksi manusia. Marx
menganalisa hal tersebut tidak hanya untuk mengetahui bagaimana sistem itu
bekerja dan memproduksi diri sendiri, tetapi juga untuk menunjukkan kondisi
yang mampu menggantikannya”.[6]
Kapitalisme yang dibuat oleh Lorens Bagus, berasal dari
bahasa Inggris, capitalism atau kata latin, caput yang berarti
kepala. Kapitalisme itu sendiri adalah sistem perekonomian yang menekankan
peranan kapital atau modal.[7] Poin-poin penting
yang bisa dilihat dan biasa digunakan untuk mengartikan kapitalisme adalah: Pertama,
kapitalisme adalah ungkapan kapitalisme klasik yang dikaitkan dengan apa yang
dimaksud oleh Adam Smith sebagai permainan pasar yang memiliki aturan sendiri.
Ia yakin bahwa dengan kompetisi, pekerjaan dari tangan yang tidak kelihatan
akan menaikkan harga pada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja atau modal
mengalami pergeseran dari perusahaan yang kurang menguntungkan. Ini berarti
kapitalisme merupakan usaha-usaha kompetitif manusia yang akan dengan
sendirinya berubah menjadi kepentingan bersama atau kesejahteraan sosial (social
welfare). Kedua, kapitalisme merupakan ungkapan Prancis laissez-faire,
laissez-passer, yang berarti ‘semaunya’, yang dilekatkan sebagai ungkapan
penyifat. Ungkapan laissez-faire menekankan sebuah pandangan bahwa dalam
sistem ini, kepentingan ekonomi dibiarkan berjalan sendiri agar perkembangan
berlangsung tanpa pengendalian Negara dan dengan regulasi seminimal mungkin. Ketiga,
kapitalisme adalah ungkapan Max Weber bahwa ada keterkaitan antara
bangkitnya kapitalisme dengan protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk
sekuler dari penekanan protestanisme pada Individualisme dan keharusan
mengusahakan keselamatan sendiri.
B.
Akar Historis Kapitalisme
Sistem perekonomian kapitalisme muncul dan semakin
dominan sejak peralihan zaman feodal ke zaman modern. Kapitalisme seperti
temuan Karl Marx menjadi sistem yang
dipraktekkan di dunia bermula di penghujung abad XIV dan awal abad XV.
Kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia terkait erat dengan kolonialisme.
Pada zaman kolonialisme ini akumulasi modal yang terkonsentrasi di Eropa
(Inggris) didistribusikan ke penjuru dunia, yang menghadirkan segenap
kemiskinan di wilayah jajahannya.
Kelahiran kapitalisme ini dibidani oleh tiga tokoh besar,
yaitu Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik, Benjamin Franklin yang
memberi dasar-dasar filosofik dan Adam Smith yang memberikan dasar-dasar
ekonominya. Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik adalah seorang
Jerman yang melakukan gerakan monumentalnya, 31 Oktober 1571 dengan menempelkan
tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak menerima kenyataan praktik
pengampunan dosa yang diberlakukan gereja Roma. Kemudian ia meletakkan ajaran
dasarnya, yaitu: “Manusia menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya
dan semata-mata lewat perbuatan dan karya yang lebih baik saja mereka dapat
menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”. Sedangkan bagi Benjamin Franklin
yang memberi dasar-dasar filosofik, mengajak orang untuk bekerja keras
mengakumulasi modal atas usahanya sendiri. Kemudian Franklin mengamanatkan:
“Waktu adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya dan
tarcantum dalam buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth
Nations, Adam Smith lebih mengkongkretkan spirit kapitalismenya dalam sebuah
konsep sebagai mekanisme pasar. Basis folologisnya adalah laissez-faire,
laissez-passer. Ia mengatakan bahwa barang langka akan menyebabkan harga
barang tersebut menjadi mahal sehingga menjadi sulit didapatkan terutama oleh
mereka yang berpenghasilan rendah. Tetapi menurut Smith bahwa yang harus
dilihat adalah perilaku produsen. Ketika harga barang mahal, maka keuntungan
akan meningkat. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas barang tersebut tinggi,
maka banyak produsen yang memproduksinya. Sehingga dengan demikian kelangkaan
barang tersebut akan terpenuhi dan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat akan
terpenuhi. Sehingga
masalah yang terjadi di masyarakat akan diselesaikan oleh the invisible
hands.
Banyak pakar memberikan penjelasan bahwa kapitalisme sebagai
sistem perekonomian dunia baru dimulai sejak abad XVI. Menurut Dudley Dillard
pada zaman kuno sebenarnya sudah terdapat model-model ekonomi yang merupakan
cikal-bakal kapitalisme. Bagi Dillard, kapitalisme tidak saja dipahami sebagai
sistem ekonomi pasca abad XVI. Kantong-kantong kapitalisme sebagai cikal-bakal
dan ruh kapitalisme justru mulai berkembang diakhir abad pertengahan. Dillard
membagi urutan perkembangan kapitalisme menjadi tiga tahapan.[8] Secara kronologis
dalam tahapan sejarah perkembangannya: Kapitalisme Awal, Kapitalisme Klasik dan
Kapitalisme Lanjut.
1.
Kapitalisme Awal (1500-1750).
Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada
pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran industri sandang di
Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Meski industri sandang tersebut masih
menggunakan mesin pemintal yang sangat sederhana, pada gilirannya mampu
meningkatkan apa yang disebut sebagai surplus sosial. Seperti dijelaskan
Dillar, dalam prakteknya industri sandang mengahadapi banyak problem dan
kesulitan. Namun demikian, berbagai kendala tersebut tak mampu menjadi
penghalang bagi kesuksesan industri tersebut. Bahkan di beberapa wilayah
pelosok Inggris, industri tersebut terus berkembang pesat selama kurun waktu
abad XVI sampai XVII. Surplus sosial yang didapatkan terus menerus secara
produktif ternyata mampu menjadikan kapitalisme mampu bersaing dengan sistem
ekonomi sebelumnya. Kelebihan itu didayagunakan untuk usaha perkapalan,
pergudangan, bahan-bahan mentah, barang-barang jadi dan variasi untuk kekayaan
yang lain.
Perluasan demi perluasan dengan argumentasi produktifitas
yang dilakukan selanjutnya mengahdirkan fenomena dramatis dengan munculnya
kolonisasi atau imperealisme ke daerah-daerah lain yang tak memiliki
keseimbangan produksi. Lebih lanjut pada informasi yang sama, Dillar juga
pernah menguraikan bahwa perkembangan kapitalisme pada tahapan ini didukung
oleh tiga faktor yang sangat penting yaitu: (1) dukungan agama dengan
menanamkan sikap dan karakter kerja keras dan ajuran untuk hidup hemat, (2)
hadirnya logam mulia terhadap distribusi pendapatan atas upah, laba dan sewa,
serta (3) keikutsertaan Negara dalam membantu membentuk modal untuk berusaha.
Studi Russel, Modes of Productions individu Wolrd
History London and New York, Routledge, 1988, menjelaskan bahwa kapitalisme
pada fase ini tidak bisa tidak menyebut bahwa Eropa dan Inggris abad ke-12
adalah sebagai lokasi awal perkembangan kapitalisme. Russel menunjuk wilayah
perkotaan untuk mencontohkan bahwa saudagar kapitalis menjual barang-barang
produksi mereka dalam suatu perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Mula-mula
mereka hanya menjual barang kepada teman sesama saudagar perjalanan. Kegiatan ini kemudian
berkembang menjadi perdagangan publik.
2.
Kapitalisme Klasik (1750-1914).
Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis
yang semula hanya perdagangan publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih
luas yaitu industri. Transformasi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi
modal industri yang seperti itu merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris.
Perubahan dalam cara menentukan pilihan tekhnologi dan cara berorganisasi
berhasil memindahkan industri dari pedesaan ke sentra-sentra perdagangan lama
di perkotaan selama Revolusi Industri. Akumulasi kapital yang terus menerus
membengkak selama dua atau tiga abad mulai menunjukkan hasil yang baik pada
abad XVIII. Penerapan praktis dari ilmu pengetahuan teknis yang tumbuh selama
berabad-abad dapat sedikit demi sedikit dilakukan. Kapitalisme mulai menjadi
penggerak bagi perubahan tehnologi karena akumulasi modal memungkinkan
penggunaan berbagai inovasi.
Tepat pada fase ini kapitalisme mulai meletakkan dasarnya
yaitu laissez-faire, laissez-passer sebagai doktrin mutlak Adam Smith.
Dillar menerangkan bahwa perkembangan kapitalisme pada fase kedua ini
semata-mata menggunakan argumentasi ekonomis. Perkembangan ini tentu saja
menjadi parameter keberhasilan bagi kaum borjuis dalam struktur sosial
masyarakat. Kesuksesan ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang politik,
yaitu hubungan antara kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan
kapitalisme terutama dalam penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi dan perluasan
daerah kekuasaan sebagai lahan distribusi produksi. Periode kapitalisme klasik
erat kaitannya dengan karya Adam Smith An Inquiry into The Nature and Causes
of The Wealth Nations (1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa
kapitalisme kuno sudah berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.
3.
Kapitalisme Lanjut (Pasca 1914).
Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang
sejak abad XIX, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama.
Abad XX ditandai oleh perkembangan kapitalisme yang sudah tidak lagi bisa
disebut sebagai kapitalisme tradisional. Kapitalisme fase lanjut sebagai
peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum. Pertama,
pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya
kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai
ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu
dengan perlawanan. Ketiga, Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat
meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan
kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial,
bentuk pemerintahan dan kemapanan agama. Dari sana kemudian muncul ideologi
tandingan, yaitu komunisme.
Kapitalisme abad XX berhasil tampil meliuk-liuk
dengan performance yang selalu bergerak mengadaptasikan kebutuhan umat
manusia pada zaman dan situasi lingkungannya. Bagi Daniel Bell,[1] fleksibilitas ini
sukses membawa kapitalisme sebagai akhir ideologi (The End of Ideology)
yang mengantarkan umat manusia tidak hanya menuju gerbang yang penuh pesona
ekstasi melainkan juga pada gerbang yang berpeluang besar untuk kehancuran umat
manusia.
Budiman (1997; 86) menyebut bahwa kapitalisme
seolah menjadi pesolek tanpa tanding dalam merebut perhatian para teoritisi
sosial dunia. Salah satu hal yang membuat kapitalisme bertahan adalah
kelenturan produk yang ditawarkan. Produk-produk yang disediakan bersifat
adaptif dengan zamannya. Citra-citra yang disodorkan tidak pernah dibiarkan
begitu saja dan menjadi sebentuk kesombongan ideologis yang menjenuhkan,
melainkan disesuaikan dengan berbagai desakan pluralisasi wacana kehidupan.
Kapitalisme berhasil tetap bertahan karena ia mampu menghadirkan demokrasi
ekonomi dan politik sebagai bentuk keinginan umat manusia yang paling mutakhir,
tapi sebatas citra, demokrasi yang semu. Produk kapitalisme yang menggairahkan
tersebut dipandang Guy Debord sebagai trap, bahwa saat ini kapitalisme
sedang menyiapkan perangkat kebudayaan yang mengantarkan umat manusia pada
kondisi komoditi yang final dan melelahkan.[2]
Produk lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme
lanjut adalah sedemikian menjamurnya korporasi-korporasi modern. Korporasi
sudah tidak lagi bergerak di bidang industri manufaktur, melainkan jasa dan
informasi. Ia berusaha mendominasi dunia dengan kecanggihan tekhnologi serta
orientasi menghadapi ekonomi global. Ia lazim berbentuk MNC/TNC (MultiNational Corporation/Trans National
Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa pelaku aktifitas
ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara, melainkan para pengusaha
bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi
apa dan di mana saja.
Dengan semakin pentingnya modal, peranan Negara
menjadi tereduksi, tapi juga hilang sama sekali. Negara hanya sekedar menjadi
aktor pelengkap (Complement Actor) saja dalam percaturan ekonomi dunia,
meski dalam beberapa kasus peran Negara tetap dibutuhkan sebagai fasilitator
untuk mendukung roda ekonomi yang sedang diputar kapitalis. Inilah yang
dinubuat Galbraith dengan mengatakan bahwa korporasi modern menerapkan
kekuasaan melalui pemerintahan. Para kapitalis ini tetap membutuhkan
keterlibatan Negara untuk memfasilitasi setiap produk yang dipasarkan. Hubungan
simbiosis mutualisme ini selanjutnya menjadi karakter dasar dari kapitalisme
lanjut. Peristiwa ini menyebabkan para pakar menyebut bahwa kapitalisme lanjut
adalah kapitalisme monopoli (monopoly capitalism) atau kapitalisme kroni
(crony capitalism).[3]
Korporasi modern dan Negara menjalin hubungan yang
didasarkan pada distribusi kekuasaan dan profit. Hubungan yang berkembang
antara korporasi modern dan birokrasi publik, seperti kapitalis yang membuat
mobil dan Negara yang membangun jalan raya, kapitalis yang membuat pesawat
tempur dengan Negara yang mengendalikan Departemen Udara dan sebagainya.[4] Selain hal itu,
apa yang diungkap Galbraith sebagai kapitalisme lanjut adalah pemfungsian
institusi Negara sebagai jaminan kontrol dari doktrin mekanisme pasar. Bahkan
para kapitalis dengan sengaja berani membiayai dan merekayasa Negara. Tujuannya
adalah untuk mengatasi kemungkinan terjadinya disintegrasi sistem soaial dalam
struktur masyarakat yang diakibatkan oleh kontradiksi-kontradisi dalam tubuh
kapitalisme itu sendiri. Asumsi ini diperkuat oleh fakta pertumbuhan
industri-industri kapitalisme hingga menciptakan sindroma korporasi-korporasi
modern ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kekuasaan politik.
Dalam hal ini Galbraith memperkuat argumentasinya
dengan uraian yang mendalam tentang keterkaitan Negara dalam dimensi politis
dan kapitalis dalam dimensi ekonomis. Semakin menguatnya campur tangan
institusi Negara ke dalam aktifitas-aktifitas ekonomi acap
mendisfungsionalisasikan fungsi dari Negara itu sendiri. Hal itu bisa
ditunjukkan dengan merosotnya atensi Negara yang bersangkutan terhadap
persoalan-persoalan lain di luar masalah teknis administratif.
Sementara menurut pandangan Clauss Offe dalam
Habermas, sejauh kegiatan Negara diarahkan pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi,
politik selalu menampilkan sifat negatif yang khas. Politik diarahkan untuk
mengatasi disfungsionalitas dan menghindari resiko-resiko yang membahayakan
sistem. Politik tidak diupayakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan
pada pemecahan masalah-masalah teknis. Kegiatan Negara dibatasi hanya pada
persoalan-persoalan teknis yang bisa dipecahkan secara administratif sehingga
dimensi praksisnya hilang.[5] Hubungan faktor
politik-kapitalis dengan melakukan kolaborasi adalah cara pandang Keynes, dan
persoalan itu susah untuk dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada keseluruhan
adegan sosial dan politik yang diproduksi secara bersamaan. Ia memandang teori
ekonomi sebagai suatu alat kebijakan politik. Ia membelokkan apa yang disebut
metode ilmu ekonomi klasik yang bebas nilai untuk melayani tujuan dan target
mental, dan untuk itu ia membuat ilmu ekonomi menjadi persoalan politik dengan
cara yang berbeda.
Keterkaitan Negara-kapitalis yang ditunjukkan
dengan bergesernya mekanisme kapitalisme bisa dipahami dari Negara Amerika.
Yang terjadi di Amerika dewasa ini bukanlah paham kapitalisme yang asli yang
menganut paham laissez-faire, laissez-passer, melainkan suatu sistem
ekonomi yang tetap menggunakan prinsip dasar kapitalisme yang disesuaikan
dengan berbagai rambu hukum yang membatasi penguasaan resaources dan
konsumsi yang berlebihan, baik secara individual maupun pada tingkat
perusahaan.[6] Nilai-nilai yang
berlaku pada sistem kapitalisme Amerika selalu mempertimbangkan beberapa aspek.
Pertama, asas
kebebasan (freedom), dengan pengertian, bebas berkonsumsi dan
berinvestasi (free entry individu consumption and investment) serta
pembatasan investasi pemerintah sekaligus mengikhtiarkan model politik yang
demokratis. Kedua, asas keseimbangan (equality), dengan
pengertian, adanya difusi antara kekuatan politik dan ekonomi; adanya bargaining
power yang sama untuk produsen dan konsumen serta adanya kesempatan yang
sama sekaligus upaya untuk menciptakan pemerataan. Ketiga, asas keadilan
(fairness), dengan pengertian, sebuah upaya untuk menghindari praktik
yang tidak adil seperti adanya upah buruh yang tidak memenuhi standar; hubungan
tuan dan majikan yang eksploitatif dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap
praktek ekonomi harus dilandasi dengan sikap yang penuh dengan kejujuran dan
keterbukaan (full honesty and disclosure). Keempat, asas
kesejahteraan (welfare), dengan pengertian, adanya pertimbangan
efisiensi alokasi dan produksi. Parameter kesejahteraan bisa diketahui melalui
pengawasan pemerintah terhadap stabilitas harga serta upaya untuk menciptakan
kondisi ketenagakerjaan yang bersifat full employment. Kesehatan dan
keselamatan lingkungan hidup juga mendapat perhatian yang besar. Kelima,
asas pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth) yang indikasinya
adalah pertumbuhan pendapatan riil dan kemajuan tekhnologi. Ada beberapa
kebijaksanaan pemerintah Amerika yang menjadi prioritas dalam menjamin
kebesaran kapitalisme. Di antaranya adalah kebijaksanaan yang menjamin terciptanya kompetisi
seperti terciptanya UU Anti Trust (Sherman Act and Clayton Act). Tujuannya
untuk mencegah persaingan yang tidak sehat diantara pihak yang bersaing.
Peraturan ini secara teknis bertujuan untuk menjamin kebebasan dan keamanan
dalam berinvestasi (free exit and entry). Kemudian kebijaksanaan yang
mengatur ke mana arah kompetisi digerakkan.
Pengaturan-pengaturan ini berfungsi untuk
melindungi konsumen dan produsen. Hal itu bisa dilakukan dengan menetapkan
etika periklanan dan standarisasi barang-barang dari segi kualitas maupun
kuantitas. Perlindungan merk dagang dan hak cipta juga mendapatkan perhatian
yang cukup serius. Selain itu, adanya kebijaksanaan yang menjadi jaminan bagi
distribusi pendapatan, yakni melalui pajak. Pajak bisa difungsikan sebagai
sarana pemerataan, insentif serta regulator untuk mempengaruhi alokasi produksi
maupun konsumsi.
Yang penting lagi adalah adanya kebijaksanaan yang
mengatur public utility. Ide dasar kapitalisme klasik laissez-faire,
laissez passer dan jargon the invisible hand merupakan asas
fundamental yang terus-menerus diperbaiki dan digunakan untuk mencirikan
kapitalisme. Mereka berpandangan bahwa teori ekonomi secara jelas menunjukkan
bahwa mekanisme pasar tidak akan mampu menyelesaikan proses alokasi
barang-barang publik seperti hukum, pertahanan dan lingkungan. Padahal
barang-barang ini merupakan sesuatu yang vital bagi terjaminnya hidup manusia.
Jika mekanisme pasar dibiarkan dengan sendirinya untuk menentukan alokasi
barang-barang publiknya, maka penyediaannya akan cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan permintaan masyarakat (socially desirealible).
Karenanya diperlukan peranan pemerintah untuk menyediakannya. Tindakan ini
menjamin produksi barang-barang kebutuhan dasar (merit goods) diproduksi
pada tingkat optimal secara sosial.[7]
Suasana lain dari kapitalisme lanjut adalah
kompetisi (competition), dan kompetisi dalam kapitalisme Amerika
merupakan poin penting dari buku The New Industrial State (1971) yang
ditulis Galbraith. Menurutnya, dalam ilmu ekonomi klasik persaingan adalah
banyaknya penjual yang memperoleh bagian yang kecil dari pasaran. Galbraith
kemudian mengatakan bahwa model persaingan klasik ini sebagian besar sudah
lenyap karena banyak pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Galbraith
juga mengatakan bahwa dalam perkembangan kapitalisme, timbul institusi yang
berusaha mengimbangi kelas kapitalis, yang disebutnya sebagai kekuatan
pengimbang (countervailing power). Kekuatan tersebut bisa berupa lembaga
konsumen yang mengontrol perilaku dan pengaruh produsen, himpunan buruh yang
mengimbangi kekuatan kelas pemilik modal dan kelas manajer. Lembaga pelindung
konsumen, pelindung alam serta organisasi-organisasi volunteer lain yang
berusaha untuk mempertahankan sekaligus memperjuangkan kepentingan golongan
lemah (marginal) dalam masyarakat, yang tentunya mayoritas. Deskripsi
awal dengan menyebut Amerika sebagai pusat segala sesuatu untuk mengkaji
kapitalisme lanjut harap dimaklumkan mengingat kita tidak bisa menolak bahwa Amerika
adalah sentral kapitalisme dunia dari pasca perang dingin atau awal abad XIX
sampai detik ini. Namun sample ini bukan serta merta ingin menunjukkan
bahwa kapitalisme lanjut hanya terbatas (limited) seperti yang tercermin
di Amerika.
Seorang sejarawan peranakan Jepang, Francis
Fukuyama, yang kemudian tenar dengan karyanya, The End of History and Last
Man, menyatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme Amerika merupakan
titik akhir dari perkembangan ideologi manusia.[8] Fukuyama
menjelaskan bahwa sejarah manusia ini sudah berhenti pada satu titik yang
ekstrim, yakni kapitalisme. Karenanya akhir sejarah akan merupakan saat yang
menyedihkan. Tatkala keberanian, semangat, imajinasi, idealisme dan humanisme
mulai digantikan dengan perhitungan-perhitungan ekonomi yang rasional. Pada
saat itu pula manusia akan terjebak pada pemecahan masalah teknis yang tidak
ada habis-habisnya. Kapitalisme sibuk merancang kebutuhan konsumen yang bercita
rasa melangit. Sehingga Galbraith dalam karya yang sama juga menuturkan bahwa
selama paruh terakhir abad ini hampir tidak ada topik lain yang dibahas secara
serius dan mendalam kecuali tentang masa depan kapitalisme (The Future of
Capitalism).[9]
Akumulasi modal sekarang tidak sekedar menjadi
kebiasaan. Ia telah menjadi sebuah hukum, di balik nuansa ini, tersimpan
keniscayaan akan adanya alienasi bagi mereka, para kelompok mayoritas seperti
buruh, petani dan perempuan. Kita menyadari bahwa kapitalisme model baru
menyimpan keniscayaan atas penindasan kelompok mayoritas. Segitiga konspirasi
ala O’Donnel sampai hari ini masih relevan dalam menjelaskan mekanisme
ketertindasan struktural rakyat. Secara empiris konspirasi itu dapat dilihat
dari bagaimana kebijakan-kebijakan Negara terbentuk atas pengaruh kepentingan
TNC.
Tiga pilar neo klasik, TNC/MNC, World Bank/IMF,
dan WTO berjalan linier, sevisi, setujuan menuju kepentingan yang sama, yakni
liberalisasi pasar. Di samping itu ketiga institusi itu adalah kekuatan
terbesar dunia abad ini. Sehingga kita tidak pernah menemukan kebijakan
internasional yang tanpa memuat kepentingan ketiganya.
Kita memang bisa menyadari bahwa kapitalisme
lanjut tidak hanya dipahami sesederhana itu. Jika hujatan terpedas hari ini
pada kapitalisme diserangkan oleh kelompok Marx dengan asumsi konflik kelas,
sesungguhnya saat ini kita juga menyaksikan bagaimana kapitalisme menghadapinya
dengan dada terbuka. Cita-cita Marx yang tertuang dalam kata-kata msayarakat
tanpa kelas, justru secara mengejutkan, bukan terjadi dalam masyarakat
komunisme, melainkan dalam masyarakat kapitalisme. Konsep pilihan publik (public
choice) yang mencoba mengagregasikan kebutuhan-kebutuhan individu
berhadapan dengan Negara, justru pada akhirnya mampu menciptakan masyarakat
tanpa kelas. Maka pada saat kapitalisme, dalam kaitannya dengan Negara, mampu
memelihara Negara dengan mengupayakan reinventing government, bukan
barang mustahil apabila masyarakat tanpa kelas adalah milik kapitalisme, bukan
komunisme. Masyarakat tanpa kelas ternyata gagal dipraktekkan oleh komunisme.
Barangkali inilah yang disebut sebagai akhir sejarah itu, threshold
capitalism.
[1] Premis ini di kemukakan Adam Smith dalam The Wealth of Nations
pendahuluan dan catatan pinggir oleh Edwin Cannan, New York: The Modern
Library, 1973, hlm. 14, 423.
[2] L. J. Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat
tentang Ekonomi, Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage,
1995, hlm. 42-43. Edisi Indonesia dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku
aslinya yang berjudul Geschiedenis Van Het Economisch Denken.
[3] Sjahrir, Formasi Mikro-Makro ekonomi Indonesia,
Jakarta, UI Press, 1995, hlm. 113-114.
[4] Max Weber, The Protestant ethic of Spirit Capitalism, New York,
Scribner, 1958, Edisi Inggrisnya dikerjakan oleh Talcot Parson dengan Pengantar
RH Tawney.
[5] Pada tahun 1887, muncullah Das Capital-nya
Marx yang amat termashur itu. Marx mengatakan bahwa kapitalisme itu mempunyai
ciri mutlak, yakni borjuis dan eksploitasi. Oleh karenanya, begitu Marx, dengan
revolusi kekerasanlah pemerintah sosialis harus didirikan. Demi terjaminnya
stabilitas sistem ini, maka ia harus dijaga oleh sistem kepemimpinan yang
diktator proletariat.
[6] Lihat Jorge Larrain, The Concept of Ideology, Forteword by Tom
Bottomore, First Published, Australia: Hotchinson Publishing Group, 1979, versi
Indonesia oleh Ngatawi al Zastrouw (editor) dan Ryadi Gunawan (penerjemah),
Yogyakarta: LKPSM, 1997, hlm. 55.
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta,
Gramedia, 1996, hlm.391.
[1] Sudono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses,
Makalah dan Dasar Kebijaksanaan, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1985,
hlm. 10.
[8] Penjelasan ini sekaligus mengawali kajian tentang
Kapitalisme fase lanjut atau kapitalisme mutakhir seperti yang diratapi oleh
Daniel Bell. Beberapa kajian dalam poin ini sepenuhnya
mengacu ke sana. Untuk memperjelas keterangan ini periksa karya Bell seperti
(1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960; (2) The Coming
of Post Industrial Society, New York: Penguin Books Edition, 1973; (3) The
Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976.
Sedangkan untuk edisi Indonesia, karya Bell ini dapat diperhatikan di Y.B.
Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya, Volume II,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985; atau Daniel Bell dan Irving Kristol
(ed.), Model dan Realita di Dalam Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi,
Jakarta: LP3ES, 1988.
[9] Guy Debord, The Society of The Spectacle, seperti dikutip oleh
Fredric Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism,
London, Verso, 1990, hlm. 8.
[10] Kapitalisme monopoli sebagai bentuk dari
kapitalisme fase lanjut seringkali diberi pengertian yang merujuk pada peran
penting dari kolaborasi di tingkat birokrat Negara dan pengusaha kapitalis
untuk menguasai lahan produksi yang ditujukan pada kepentingan-kepentingan
publik.
[11] Lihat John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, New
York: Mentor Book Paperback Edition, 1972, hlm. 258. Periksa juga Budiman, Op. Cit.
[12] Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai
Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 76-77.
[13] Dalam banyak hal, pembahasan kapitalisme fase
lanjut tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pembahasan tentang sistem ekonomi
kapitalisme yang ada di Amerika. Sebab seperti yang sudah dijelaskan terdahulu
bahwa salah satu ciri pokok yang mendasari kapitalisme fase lanjut adalah pergeseran
modal dari kapitalisme klasik yang didominasi oleh Negara-negara Eropa menuju
kapitalisme Amerika. Posisi Amerika sebagai pusat perdagangan dunia (world
trade center), dengan demikian, bisa dijadikan referensi dan parameter
perkembangan kapitalisme global selanjutnya.
[14] Lihat Francis Fukuyama, The End of History and Last Man,
London: Hamish Hamilton, 1992. bandingkan dengan pandangan-pandangan dalam
literatur abad ke-19 yang dikenal sebagai abad ideologi (the age of
ideology). Bandingkan juga dengan literatur abad ke-20 yang dianggap
sebagai abad: (1) Akhir Ideologi (The End of Ideology) karya sosiolog
Daniel Bell, (2) Akhir Alam Semesta (The End of Nature) karya Paul
MacKiben.
[15] Lihat Galbraith, Op. Cit.
[16] Ini semakin memperjelas bahwa teori mekanisme
pasar tidak bisa dibiarkan sebebas apa yang sudah didoktrinkan dalam teori
ekonomi kapitalisme klasik. Pemerintah atau Negara dibutuhkan kehadirannya
dalam mengurusai bidang-bidang yang bersangkut-paut dengan kebutuhan publik
seperti penjelasan di atas. Dengan demikian, hadirnya Negara sebagai wasit
adalah berfungsi untuk mengatur pasar.
Comments